top of page
4-adab-dan-sopan-santun-umat-terhadap-ra

PENDIDIDIKAN MASA PRA ISLAM DAN MASA RASULULLAH

A. Sosiokultual Masyarakat Mekkah dan Madinah

1. Sosial Budaya

Kondisi  sosial  kemasyarakatan  dikalangan  bangsa  Arab  pra  Islam,  terdapat beberapa kelas masyarakat, berbeda diantara satu dan lainnya. Bangsa Arab sangat mendewakan tuan dan menghina budak. Bahkan tuan berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, dan hamba-hamba diwajibkan membayar denda dan pajak, budak laksana ladang tempat bercocok tanam menghasilkan banyak kekayaan. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hal yang hilang dan terabaikan. Para budak tidak bisa melakukan   perlawanan   sedikit   pun,   banyak   diantara   mereka   merasa  kelaparan, penderitaaan dan kesulitan yang tidak jarang merenggut nyawanya dengan sia-sia.

Diantara perilaku hina masyarakat jahiliyah terhadap anak perempuan adalah perbuatan menanam bayi perempuan hidup-hidup karena takut terhadap hinaan dan noda. Motif masyarakat kelas bawah melakukan hal yang sama karena takut jatuh miskin (fakir), terutama dilingkungan Bani ‘Asad dan  Tamim. Sementara anak laki-laki diperlakukan dengan kasih sayang kecuali kaum dhuafa’. Di kalangan kaum dhuafa’ mereka membunuh anak laki-laki karena takut miskin.2  Jadi kondisi sosial budaya masyarakat Arab sebelum Islam (masyarakat jahiliyyah) yaitu suatu masyarakat yang dikenal dengan “masa kebodohan”, “ketidaktahuan” atau “kebiadaban”.

2. Ekonomi

Kondisi ekomoni mengikuti kondisi sosial, yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab. Pedagang merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jalur perdagangann tidak bisa  dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Sementara kondisi yang aman seperti ini tidak tewujud di Jazirah Arab kecuali bulan-bulan suci. Pada saaat itulah dibuka pasar-pasar Arab yang terkenal, seperti Ukadz, Dzilmajaz, Madinah dan lain-lain.

Dalam hal perekonomian bangsa Arab Pra Islam, berada dalam kondisi kesesatan, terlihat dari sikap mereka dalam menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang atau sesuatu yang diperlukan, seperti mencuri, berjudi, merampok, menipu, memeras, atau melipatgandakan uang  (riba)  kepada  orang  yang  meminjam uang  kepadanya. Praktek ekonomi demikian itu pada tahap selanjutnya menimbulkan kesenjangan sosial antara kaum  yang  kaya  raya  dengan  kaum  yang  miskin.  Kasus-kasus di  atas,  sesungguhnya merupakan indikasi masyarakat yang jauh dari aturan dan nilai-nilai luhur.  Jadi kondisi ekomoni masyarakat Arab pada saat itu dengan cara menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang atau sesuatu yang diperlukan.

3. Politik

Bangsa Arab sebelum Islam, belum mengenal sistem pemerintahan yang lengkap seperti pada masa sekarang, kalaupun ada belumlah sempurna organisasinya. Sistem pemerintahan sebelum Islam yaitu:

a. Mereka tidak memiliki peradilan tempat memperoleh kepastian hukum tentang sesuatu kasus.

b. Mereka tidak memiliki polisi sebagai penjaga keamanan.

c. Mereka   tidak   dibebani   keharusan   membayar   pajak   karena   tidak   terbentuknya pemerintah yang berfungsi sebagai badan eksekutif.

d. Mereka juga tidak berhak menangkap terpidana untuk divonis sesuai dengan kadar dan tindakan pelanggaran yang dilakukan.

Dalam tatanan masyarakat jahiliyyah orang teraniaya secara langsung yang akan bangkit mengambil tindakan pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya kepadanya. Pihak  yang  teraniaya  tidak  berhak  menuntut  balas pihak yang  berbuat  aniaya  telah membayar ganti rugi dengan materi yang sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak (pihak). Jadi kondisi politik masyarakat Arab sebelum Islam (masyarakat jahiliyyah) belum teratur atau  sempurna. Para penguasanya bersikap diktator (tidak demokratis), otoriter (berkuasa sendiri) dan korup.

4. Keberagamaan

Keberagamaan mayoritas bangsa Arab Jahiliyah sudah jauh dari keyakinan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yaitu meyakini adanya Allah SWT sebagai Rabb al- Alamin. Mereka menganut agama watsani (penyembah berhala). Setiap kabilah atau suku mempunyai   patung   (berhala)   sendiri   sebagi   pusat   penyembahan.   Sebutan   untuk sesembahan  zaman  Jahiliyah  ini  berbeda-beda  diantaranya:  Shanam,  Wathan,  dan Nushud.    Jadi  kondisi  keberagamaan  masyarakat  Arab  sebelum  Islam  (masyarakat jahiliyyah) semakin luntur atau semakin jauh dari ajaran agama Allah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Ajaran agama yang berubah-ubah menjadi agama paganisme (pencampuradukan antara Tuhan dan manusia).

B. Pendidikan Masyarakat Makkah dan Madinah

Menurut Munir Mursyi yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa pendidikan di negeri- negeri Arab pra-Islam, dilaksanakan melalui peniruan dan cerita. Anak-anak kecil tumbuh dan berkembang dengan meniru dan mendengarkan hikayat orang-orang dewasa. Suatu kabilah dan keluarga mengajarkan nilai-nilai yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai- nilai kemasyarakatan yang berlaku dalam kabilahnya. Kaum Arab mengekspresikan dan membanggakan nilai-nilai  kemasyarakatan dalam  kabilahnya  melalui  syair-syair. Jadi kondisi pendidikan masyarakat Arab pada zaman itu lebih senang bercerita hikayat, mengejarkan nilai-nilai leluhur dan menghafal syair-syair dikarenakan belum bisa baca tulis.

1. Kuttab

Menurut catatan sejarah, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab khususnya Mekah,  telah  mengenal  adanya  lembaga  pendidikan  rendah  yang  disebut kuttab atau kadang disebut maktab, yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan membaca dan menulis. Namun lembaga pendidikan ini masih bersifat sederhana dan belum mampu menarik minat masyarakat luas.

Meskipun diakui bahwa catatan-catatan mengenai keadaan pendidikan pada masa tersebut tidak banyak ditemukan, namun Hamidullah dapat mendapatkan beberapa bukti yang dapat memberikan gambaran situasi pendidikan pada kala itu. Salah satu contoh bukti Hamidullah, dengan merujuk pada kitab ‘Uyun al Akbbar karya Ibn Qutaibah, Hamidullah menguraikan bahwa Zilmah, salah seorang perempuan anggota suku Hudhail, pada waktu kecil memasuki sekolah dan biasa bermain-main dengan tinta yang biasa dipakai untuk menulis. Selain itu, Ghailan ibn Salmah dari suku Thaif juga terkenal sering mengadakan pertemuan mingguan dimana para penyair membacakan syair-ayairnya dan mendiskusikan serta mengkritisi karya-karya mereka.

Penjelasan Hamidullah tersebut belum menunjukan apakah kegiatan pendidikan tersebut bersifat massal atau hanya diikiti oleh orang-orang tertentu. Dalam hal ini Ahmad Syalabi, dangan merujuk pada karya Al-Baladuri, futub al-Baldan menjelaskan bahwa Sufyan Bin Umayyah dan Abu Qais bin ‘abd Manaf adalah orang asli Arab partama yang belajar membaca dan menulis. Guru mereka adalah seorang Nasrani bernama Bishr ‘Adb al-Malik yang pernah belajar ilmu ini di Hira. Dan orang Arab pertama yang menjadi guru adalah Wadi al-Qura yang hidup disana dan mulai mengajarkan membaca dan menulis kepada penduduk Arab. Hal ini dapat dibuktikan ketika Islam lahir, masyarakat Mekah yang bisa membaca dan menulis berkisar sekitar 17 orang, sedangkan masyarakat Madinah sekitar 11 orang.

Kuttab atau Maktab diambil dari kata Taktib yang berarti mengajar menulis. Dalam buku yang lain Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab berarti tempat menulis atau tempat dimana dilangsungkannya kegiatan untuk tulis-menulis.

Secara historis dalam skala yang terbatas, lembaga pendidikan Kuttab telah ada di dunia Arab pra Islam. Bentuknya seperti privat. Dimana seorang guru menyiapkan sebuah ruangan dirumahnya dan menerima bayaran apabila guru tersebut mengajar di keluarga yang mampu.

Dengan merujuk pada data yang ditulis oleh Shalaby ini dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan hanya dilakukan oleh sekelompok orang dan khususnya di Makkah. Dan hal yang demikian dapat dimaklumi menginggat pada saat itu sebagian penduduk di Jazirah Arab adalah penduduk yang memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah (nomaden). Tentu perhatian yang meraka berikan lebih besar pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer berupa makanan sementara kegiatan pendidikan menjadi kebutuhan sekunder atau bahkan meraka anggap tidak  penting sama sekali. Karena  ketrampilan membaca dan menulis belum menjadi hal  yang umum dimiliki masyarakat, maka yang berkembang adalah tradisi lisan.Dalam kondisi seperti itu, yang menjadi “guru” adalah mereka yang paling banyak hafalannya.

Pada  masa  awal  Islam  sampai  pada  era  Khulafaur  Rasyidin,  secara  umum pengajaran kuttab dilakukan tanpa adanya bayaran, akan tetapi pada era bani Umayah, ada diantara penguasa yang sengaja menggaji guru untuk mengajar putra-putranya dan menyediakan tempat bagi pelaksanaan proses belajar mengajar di istananya. Disamping itu ada juga yang mempertahankan bentuk lama yaitu melaksanakan pendidikan di pekarangan sekitar mesjid, biasanya siswa-siswa dari kalangan kurang mampu. Materi yang diajarkan dalam kuttab adalah tulis baca yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah arab. Dalam sejarah pendidikan Islam masa awal, dikenal dua bentuk kuttab yaitu:

a. Kuttab  berfungsi  sebagai  tempat  pendidikan  yang  memfokuskan  pada  tulis  baca. pada masa ini, Al-Qur’an belum dijadikan rujukan sebagai mata pelajaran dikarenakan dalam rangka menjaga kesucian Al-Qur’an dan tidak sampai terkesan dipermainkan para siswa dengan menulis dan menghapusnya, selain itu pada masa itu pengikut Nabi yang bisa baca tulis masih sangat terbatas.

b. Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al-Qur’an dan dasar-dasar keagamaan. Pada  era  awal  ini,  pelaksanaan pendidikan  lebih  terkonsentrasi  pada  pendidikan keimanan dan budi pekerti dan belum pada meteri tulis baca.

Dalam operasionalnya, baik kutab jenis pertama maupun kedua dilakukan dengan sistem halaqah, namun ada juga guru yang menggunakan metode dengan membacakan sebuah kitab dengan suara keras, kemudian diikuti oleh seluruh siswanya. Proses ini dilakukan berulang-ulang sampai siswa benar-benar menguasainya. Disamping itu ada juga guru yang menyuruh siswanya untuk menyalin pelajaran dari kitab tertentu.

Lama belajar di kedua bentuk kuttab tersebut tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi ditentukan oleh kemampuan siswa dalam menyelesaikan pelajaran dalam suatu kitab. Mata pelajaran pada tingkat ini adalah membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an serta pengetahuan akhlak. Phill K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan kuttab ini berorientasi kepada Al-Qur’an sebagai teks boo. Hal ini mencakup engajaran Membaca, Menulis, Kaligrafi, Gramatikal Bahasa Arab, Sejarah Nabi, dan Hadits.

2. Masjid

Kata masjid berasal dari bahasa Arab, sajada (fi’il madli) yusajidu (mudlari’) masajid/sajdan (masdar), artinya tempat sujud. Dalam pengertian yang lebih luas berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah sang pencipta dan tempat merenung dan menata masa depan (dzikir).

Proses  yang  mengantarkan masjid  sebagai  pusat  peribadatan  dan  pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuannya. Masjid yang pertama kali dibangun adalah masjid Quba, yaitu setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah. Seluruh kegiatan umat difokuskan di masjid termasuk pendidikan. Majelis pendidikan yang dilakukan Rasulullah bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halaqah.

Dalam perkembangannya, dikalangan umat Islam tumbuh semangat untuk menuntut ilmu dan memotivasi mereka mengantarkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan di mesjid sebagai lembaga pendidikan menengah setelah kuttab. Kurikulum pendidikan  di  masjid  biasanya  merupakan  tumpuan  pemerintah  untuk  memperoleh pejabat-pejabat pemerintah, seperti kadi, khatib, dan imam masjid.

Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan masjid pada era awal kurang mendapat perhatian dari  penguasa pada saat  itu,  karena  penguasa telah  memusatkan perhatian pada proses penyebaran agama dan proses perluasan wilayah. Dengan semakin luas  wilayah  kekuasaan  islam,  telah  memperkaya  perkembangan lembaga  ini,  melalui asimilasi dan persentuhan budaya islam dengan budaya lokal.

3. Madrasah

Madrasah  merupakan  isim  makan  dari  kata  darasa  yang  berarti  belajar.  Jadi madrasah adalah tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya sebab, pemakaian madarasah secara definitif baru muncul pada abad ke-11. George Makdisi (1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung melalui tiga tahap yaitu tahap masjid, tahap masjid-khan dan tahap madrasah.

Dilihat dari aspek historis, eksistensi madrasah baik pada abad klasik XXI (saat ini) tidak jauh beda. Dinamika madrasah yang tumbuh yang berakar dari kultur masyarakat setempat tidak akan luput dari dinamika dan peradaban masyarakat (change of society) tidak salah kalau banyak mensinyalir bahwa madrasah tumbuh dan berkembang dari bawah ke atas.  Jadi  eksisnya  madrasah  seiring  dengan  kehidupan  masyarakat setempat.  Hal  ini berarti, masyarakat dan madrasah tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling mberikan kontribusi, disamping masyarakat, pemerintah atau pengusaha harus memberikan dukungan agar madrasah tetap eksis dan berkembang

maju.

Madrasah  sebagai  salah  satu  institusi  pendidikan  Islam  merupakan  pondasi sekaligus prototipe sistem pendidikan Islam saat ini. Madrasah Nizam al-Mulk, Misalnya adalah madrasah yang paling populer dikalangan ahli sejarah dan kalangan masyarakat Islam. Didirikan oleh Nizam al-Muluk, seorang perdana Mentri Dinasti Salajikah pada  masa pemerintahan Sultan Alp-Arshan dan Sultan Maliksyah pada tahun ke-5 H/II M yang diresmikan tahun 459 H/1067 M, di Nisabur.

Dengan demikian, eksistensi madrasah pada era awal memiliki sejarah yang panjang selama perjalanan peradaban Islam, dan berkontribusi terhadap lahirnya tradisi intelektual Islam. Ia merupakan transformasi institusi pendidikan Islam sebelumnya, seperti kuttab, rumah, masjid dan saloon. Meskipun tradisi keilmuan secara langsung tidak di institusi madrasah. dikarenakan madrasah langsung di-handle, oleh pemerintah, namun melalui institusi ini telah menumbuhkan kecintaan dan gairah pada intelektual Islam terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan dari karya-karya mereka dan berbagai bidang ilmu baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan (sains).

 

Referensi:

Syafiyu al-Rahman al-Mubarrakfury, Sirah Nabawiyyah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2000), h. 46-48.

Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Prespektif Hadits, (Jakarta: Proyek Penggandaan Buku Dasar, 2005), h. 19.

Syafiyu al-Rahman al-Mubarrakfury, Op.Cit, h. 50-52.

Abuddin Nata dan Fauzan, Op.Cit, h. 20.

Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh ad-Daulah al-Fatimiyyah, (Mesir: 1997), h. 88-89.

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Radar Jaya Ofset, 2012), h. 16.

Muhamaad Faruq al Nubhan, Mabadi al Tsaqafah al- Islamiyah (Kuwait, Dar al-Bait al Islamiyah,(1974), h. 26.

Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983), h. 26.

Unggah tugas
mau terima berita akhir zaman setiap hari di email kamu? GRATIS!^^

Thanks for submitting!

bottom of page