top of page
unnamed.jpg

MASA KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Kemunduran Pendidikan Islam

                                  

Pemikiran keislaman menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai abad XVIII M, masa ini dikenal dengan masa pertengahan. Berbeda dengan masa klasik Islam, kehidupan intelektual pada masa pertengahan Islam dapat dikatakan sudah mengalami kemunduran (pasang surut). Hal tersebut terlihat pada kuantitas yaitu berkurangnya para ahli yang muncul dalam bidang ilmu pengetahuan dan penurunan kualitas ilmiah yang dimiliki oleh para ahli dengan sulitnya ditemukan para mujtahid. Di antara penyebab melemahnya pemikiran keislaman antara lain dikemukakan oleh Syarif:

1. Telah  banyaknya  Filsafat  Islam  (yang  bercorak  sufistis)  yang  dimasukkan  Al- Ghazali di Timur, demikian pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat yang akhirnya keduanya bermuara ke arah bidang rohaniah hingga menghilang dalam mega alam tasawuf, sedangkan Ibnu Rusyd menuju ke jurang materialisme.

2. Umat Islam terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan bidang-bidang tersebut untuk berkembang.

3. Terjadinya pemberontakan yang  dibarengi dengan  serangan dari  luar,  sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.

 

Mari mencoba untuk melihat penyebab kemunduran pendidikan intelektual kita yang tidak bisa terlepas dari pola-pola pendidikan yang telah dilakukan sejak munculnya Islam sampai ke masa kemunduran. Dalam perjalanan sejarah Islam terlihat ada dua pola dalam pemikiran Islam yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam yaitu: pola pemikiran yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu dan pola pemikiran rasional yang mementingkan akal fikiran. Dari pola yang pertama berkembang menjadi

pola   pemikiran   sufistik   dan   mengembangkan  pola   pendidikan   sufi;   yang   kedua menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, dan pola pendidikan ini lebih memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan materi.

​

Berkembangnya  pola  pendidikan  menuju  dua  kutub  yang  berlawanan  adalah dengan munculnya kecenderungan rasional yang kuat pada Ikhwanussafa, Yang memandang pendidikan dari sudut pandangan aqliah bukan dari segi amaliah. Mereka berpendapat bahwa cara memperoleh pengetahuan melalui tiga jalan, pertama melalui panca indra. Kedua, memperoleh pengetahuan dengan mendengarkan berita-berita yang hanya manusia sanggup. Ketiga, memperoleh pengetahuan melalui tulisan dan bacaan, memahami arti kata-kata bahasa dan pembicaraan orang dengan melihat tulisan-tulisan itu. Pengetahuan semuanya dipelajari bukan secara naluri, dan semua pengetahuan melalui panca indra. Untuk menaggapi kecenderungan rasionalisme ini muncul suatu mazhab yang menentang kecenderungan rasionalisme sebagai sumber satu-satunya pengetahuan.

Hal ini terjadi pada zaman Abbasiyah. Selanjutnya, mazhab sufi  yang melalui jalan lain untuk sampai pada hakikat (jalan selain rasional), jalan itu ialah hati sesudah dibersihkan dari kotoran dan jalan jiwa setelah ia bebas dari nafsu. Kalau diamati pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi, Setelah pola pernikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola  berfikir tersebut, maka dalam dunia Islam  tinggal pola  pemikiran sufistik,  yang  sifatnya  memang  memperhatikan  kehidupan  batin  yang  mengabaikan perkembangan dunia material. Pola pendidikan yang dikembangkannya pun tidak Iagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material, dari aspek inilah dikatakan pendidikan dan  kebudayaan Islam  mengalami kemunduran, atau  setidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mandeg.

Setelah ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam, karena daya intelektual dari generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru  yang  dihadapi  sebagai  akibat  perubahan  dan  perkembangan zamam. Ketidakmampuan intelektual tersebut muncul dalam "pernyataan" bahwa pintu ijtihad terlah tertutup, terjadilah kebekuan intelektual secara total.

Gejala-gejala kemunduran dan kemacetan intelektual ini juga diungkapkan oleh Fazlurrahman, bahwa tertutupnya pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke-4 H/10 M dan 5 H/11 M telah membawa kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual yakni teologi, dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kernunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat, dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.

Sejak itulah ilmu-ilmu agama yang seharusnya lebih banyak dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman boleh dikatakan sudah pudar. Kegiatan kaum muslimin boleh dikatakan sudah berhenti, sekalipun tidak sama sekali. Ini sejalan dengan  kehancuran Bagdad dan Spanyol, dua wilayah yang dianggap sebagai pusat pengembangan pendidikan dan kebudayaan Islam.

Dengan hancurnya secara total Bagdad dan Granada di Spanyol sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam.  Musnahnya lembaga pendidikan dan  semua  buku-buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin atau spiritual. 

Jadi, jelaslah kemunduran pendidikan disebabkan dua faktor yaitu internal  dan eksternal. Faktor internal yaitu macetnya salah satu bentuk pola pendidikan (pola pendidikan intelektual) sehingga tidak ada lagi keseimbangan pengetahuan aqliah (intelektual) dan nakliah. Pengetahuan aqliah telah mengalami stagnasi misalnya filsafat, bidang ilmu pengetahuan ini tidak bisa dipertahankan dan bahkan diharamkan.

Faktor penyebab lainnya adalah faktor internal yaitu penguasa atau khalifah yang mempunyai kekuasaan absolut yang menentukan kelembagaan pendidikan, sehingga kemajuan pendidikan sangat ditentukan oleh khalifah yang berkuasa. Kemudian adanya faktor eksternal yaitu penyerangan bangsa Tar-Tar dari luar Islam yang telah menghancurkan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Sehingga sulit dan membutuhkan waktu untuk bisa membngun kembali pusat kebudayaan yang baru.

Berikut ini marilah kita lihat keadaan pendidikan Islam di zaman kemunduran yaitu dengan melihat upaya mencari, memelihara dan mengembangkannya.   Pada masa disintegrasi (1000 - 1250 M.) para khalifah dan raja-raja melarang berfikir bebas, bahkan mereka menindas filsafat. Maka filsafat dipelajari orang dengan sembunyi-sembunyi. Hal ini terjadi pada masa Ikhwanussafa dan Algazali. Algazali menyerang ilmu filsafat dan orang-orang yang berpegang kepada akal fikiran semata-mata.

Kondisi ini telah mengakibatkan hilangnya pendidikan filsafat sesudahnya, begitu juga di Andalus orang yang mempelajari filsafat dan mempelajari ilmu falak dianggap zindiq dan kafir. Ibnu Rusyd diusir dan dihukum masuk penjara, serta disiksa karena mempelajari dan mengajarkan filsafat. Jadi boleh dikatakan pada masa kemundurannya, ilmu filsafat boleh dikatakan hilang sama sekali karena kita tidak melihat usaha pencerahan  dan  pemeliharaan  apalagi  pengembangan.  Begitu  juga  pengetahuan  yang  mempunyai kaitan  dengan filsafat,  logika  atau  pemikiran. Meskipun demikian setelah  kehancuran Bagdad kita mengenal ada beberapa kerajaan yang muncul, yang masing-masingnya juga mempunyai upaya dalam memajukan pendidikan Islam (meskipun ilmu filsafat waktu itu sudah tidak diakui lagi) misal: Kerajaan Namluk di Mesir.

Setelah jatuhnya kota Bagdad (650 H/1258 M) maka sultan Mamluk di Mesir mengangkat Baibars, salah seorang anak khalifah yang melarikan diri dari Bagdad ke Mesir menjadi khalifah, berkedudukan di Kairo. Khalifah pertama diberi gelar al-Mustanshir. Dengan demikian ibukota dunia Islami berpindah ke Kairo, Begitu juga pusat pendidikan dan pengajaran berpindah juga ke Kairo ke al-Jami' al-Azhar. Pada masa pimpinan sultan Baibars ( 658-676 H. - 1260 - 1277 M.) meningkatnya kemajuan yang gilang gemilang menjadi pusat ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab.

Pada masa sultan Qalawun (678-6-9 H/1279-1290 M) didirikanlah rumah sakit yang besar (RS Qalawun) dan madrasah-madrasah yang besar yang mengajarkan ilmu Fiqh dalam 4 Mazhab dan juga pustaka-pustaka. Pada masa sultan Al-Nashir (693-741H./1293-1341M.), keindahan, kesenian, dan teknik pembangunan Islam telah sampai pada puncaknya. Pendeknya pada masa Mamluk, sesudah al-Ayubi madrasah-madrasah bertambah banyak bilangannya ± 70 madrasah, begitu juga di wilayah lainnya.

​

Usmaniyah di Turki (923 H./1517 M. - 1924 M.)

 

Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan Usmaniyah Turki, lalu sultan Salim memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan barang berharga di Mesir dipindahkan   ke   Istambul.   Dengan   berpindahnya   ulama-ulama   dan   kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istambul maka Mesir menjadi mundur, pusat pendidikanpun pindah ke Istambul. Namun paada masa Turki Usmani ini tidak ada perkembangan dari pendidikan Islam. Banyak ulama, guru-guru ahli sejarah, dan ahli sya'ir masa itu. Mereka hanya mempelajari kaedah-kaedah ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta sedikit ilmu berhitung  untuk  membagi  harta  warisan  dan  ilmu  miqat  untuk  mengetahui  waktu  sembahyang, Mereka tidak  terpengaruh oleh gerakan ilmiah di  Eropa dan tidak pula mengikuti jejak zaman kemajuan dunia Islam pada masa Harun Al-Rasyid dan masa al-Makmum. 

Jadi jelaslah bahwa semenjak jatuh Bagdad tidak banyak yang dicapai dalam pengembangan pendidikan Islam, memang banyak diperoleh madrasah-madrasah tetapi dari segi materi yeng diajarkan itu semakin sedikit. Sehingga kita tidak melihat penemuan- penemuan baru yang berarti, usaha untuk mencari yang baru, dan bahkan sebaliknya apa yang telah dicapai sebelumnya tidak dapat terpelihara atau hilang apalagi untuk mengembangkannya. Keadaan  pendidikan  zaman  ini  digambarkan  juga  oleh Fazlurrahman, di madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqah-khalaqah dan zawiyah-zawiyah sufi. Karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum yang formalis, misalnya di India sejak abad 8/14 M. Karya-karya al-Suhrawardi dan Al-Arabi dan kemudian karya-karya Jami' telah diajarkan, sedangkan di pusat-pusat sufi terutama di Turki kurikulum akademis hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Ajaran sufi yang diajarkan sebagian besarnya dikuasai oleh ajaran pantheisme yang bertentangan tajam dengan lembaga-lembaga pendidikan ortodoks, sehingga terjadilah dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut diantara madrasah dan khalaqah.

Di samping itu kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran nampak jelas dengan sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran di madrasah-madrasah yang ada. Dengan telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dan tiadanya perhatian  kepada  ilmu-ilmu  kealaman  maka   kurikulum  pada   umumnya  madrasa- hmadrasah terbatas pada ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri atas Tafsir Alquran, hadis, Fiqh (termasuk ushul fiqh dan prinsip-prinsip hukum), dan ilmu kalam atau teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu ilmu kalam dicurigai. Madrasah- madrasah yang diurus kaum sufi ditambah dengan pendidikan sufi.

Lebih lanjut, dijelaskan oleh Fazlurrahman tentang proses dan pelaksanaan pendidikan masa itu: Biasanya kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran jadi sebagai contoh urutan tersebut misalnya bahasa dan tata bahasa Arab, kesusastraan, ilmu hitung, filsafat, hukum, yurisprudensi, teologi, tafsir Alquran, dan hadist. Si murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu mata pelajaran yang sama dengan detail yang lebih terperinci dan disertai dengan komentar-komentar. Tugas guru adalah mengajarkan komentar-komentar orang lain di samping teks aslinya, dan biasanya tanpa menyertai  komentarnya  sendiri  dalam  pelajaran  tersebut.  Tambah  lagi   tidak  ada persesuaian pendapat tentang mata pelajaran mana yang lebih tinggi dari yang lain.

Jadi jelaslah bahwa pendidikan umat Islam setelah masa disintegrasi atau setelah penghancuran Bagdad, mengalami kemunduran dari segi intelektual dalam arti bahwa tidak ada usaha pencarian, mempertahankan apa yang sudah ada apalagi untuk mengembangkannya. Dari segi ilmu kealaman, pendidikan Islam boleh dikatakan macet total.  Prosesproses  pendidikan  tidak  lagi  dinamis.  Materi-materi  pendidikan  semakin sempit dan tidak lagi berkembang, dan paling tinggi perkembangannya adalah mengomentari, keadaan ini berlaku bagi semua ilmu pengetahuan, dan ditambah dengan dominasinya sufi yang dipengaruhi pantheisme dalam pendidikan Islam.

​

B. Peralihan Secara Drastis Pusat-pusat Pendidikan dan Kebudayaan dari Dunia Islam ke Eropa 

​

Kehancuran  pusat-pusat  pendidikan  dan  kebudayaan  dan  kemunduran  dalam bidang intelektual dan material serta masa selanjutnya terjadi peralihan secara drastis pusat pendidikan dan kebudayaan dunia Islam ke Eropa, setidaknya menimbulkan rasa lemah diri dan putus asa di kalangan masyarakat Muslimin. Keadaan ini juga telah menyebabkan mereka untuk mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka.  Aliran  pemikiran tradisionalisme mendapat tempat di  hati  masyarakat secara meluas. Mereka kembalikan segala sesuatunya kepada tuhan toh segala sesuatunya telah dikehendaki oleh Tuhan. 

Jadi  di  sini  terlihat  betapa  besarnya  goncangan  terjadi  pada  diri  umat  Islam. Kemundurannya tidak hanya dari segi pengetahuan, bahkan sikap mentalnya pun mengalami goncangan dan lemah, ditambah dengan perpindahan pusat pendidikan dan kebudayaan Islam ke Eropa. Peralihan secara drastis pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan umat Islam ke Eropa itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi umat Islam waktu itu dan peran umat Islam di Spanyol dalam pengembangan ilmu dan kebudayaan, yaitu setelah ilmu pengetahuan dan kefilsafatan (ilmu aqliah) pada Abbasiyah yang keempat (447-590 H./1055-1193 M.), berpindah ke negri Andalus. Sejak itu masuklah Ilmu pengetahuan dan  filsafat  ke  Andalus.  Orang-orang Andalus  sangat  suka  mempelajari filsafat, meskipun sebagian mereka menderita siksaan karena mempelajari filsafat itu. Maka di sana lahirlah filosof-filosof, ibnu Bajah, ibnu Tufail, ibnu Rusyd, ibnu Khaldun dll. Sehingga saat itu Andalus di bawah kekuasaan Islam telah menjadi pusat peradaban dunia dan dari sinilah nantinya banyak orang Eropa belajar ilmu pengetahuan. Sampai akhirnya Islam runtuh, dan kebudayaan Islam di bawa ke Barat (Eropa) oleh orang-orang Barat yang belajar ke sana. Dengan lenyapnya negara Islam di Andalus lenyap pula filsafat. Sesudah itu filsafat tidak bangun lagi di seluruh alam Islami dan berpindah ke negri Barat dari Andalusia.

Minat kepada filsafat dalam umat Islam, yang mulai dengan gairah melimpah ruah berakhir dengan frustasi. Kegiatan untuk berfilsafat menuntut iklim bebas dari kecurigaan dan ancaman, sikap waspada terus me-nerus terhadap campur tangan dari luar memadamkan api batin. Filsafat mampu membuka pandangan baru serta memperbaharui sendi masyarakat, asalkan dikerjakan dengan sabar, ikhlas dan rendah hati. Bila mana kekuasaan tradisi atau kepentingan golongan penguasa takut akan pembaharuan maka haluan fikiran terdampar dan ahli-ahli fikir meninggalkan bahteranya.

​

Sejak perpindahan pusat pendidikan dan kebudaya-an dari dunia Islam ke Barat, mengakibatkan Barat pun berkembang dengan pesat. Melihat kenyataan tersebut umat Islam semakin frustrasi. Pusat-pusat ilmu pengetahuan yang sudah dibangun di zaman klasik dan beberapa tambahan pusat pengetahuan dan kebudayaan sesudahnya tidak mampu  lagi  memacu  umatnya  untuk  mencapai  kemajuan  seperti  Mesir  atau  Cairo, Granada, Maraga, Maroko, Samarkand dsb. Di samping itu, juga telah terjadi perubahan dari tujuan pendidikan sebelumnya. Tujuan utama pendidikan waktu itu  sebagaimana dijelaskan  Mahmud  Yunus;  penguasa-penguasa sangat  mementingkan pendidikan dan pengajaran agama sesuai dengan aliran yang dianutnya, sehingga tujuan utama dari mendirikan madrasah-madrasah ialah menyiarkan ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu-ilmu yang lain tidak termasuk dalam kurikulumnya. Dengan mementingkan ilmu-ilmu agama itu leyaplah ilmu-ilmu filsafat, bahkan juga ilmu kedokteran di dunia Islam dan berpindah ke Barat.

Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan lslam diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi, maka secara berangsur-ansur telah membangkitkan kekuatan Eropa dan menimbulkan kelemahan kelemahan di kalangan umat Islam. Secara berangsur-angsur tetapi pasti, kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa, dan terjadilah penjajahan di mana-mana di seluruh wilayah yang pernah dikuasai Islam. Eksploitasi kekayaan-kekayaan dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa semakin memperlemah kedudukan kaum muslimin dalam segala segi kehidupannya.

Demikianlah akhirnya dunia Islam menjadi dunia ketiga dan orang-orang terjajah. Kemunduran Ilmu pengetahuan, runtuhnya mental umat Islam dan ditambah dengan hancurnya peradaban umat Islam yang berpindah ke Eropa (Barat) telah mengakibatkan umat Islam semakin jauh ketinggalan. Meskipun setelah perpindahan kebudayaan Islam ke Eropa masih ada pusat-pusat kebudayaan Islam tetapi itu tidak mampu membangkitkan kembali jiwa keilmuan. Karena keilmuan itu sendiri sudah berada di bawah kekuasaan atau mazhab dan demi kepentingannya. Ajaran yang berkembang lebih berorientasikan kepada sufisme sehingga yang lebih. Banyak berkembang adalah ilmu-ilmu tarikat. Sedangkan ilmu pengetahuan intelektual tidak mendapatkan tempat terutama dalam kurikulum pelajaran.

​

KESIMPULAN

Pemikiran Islam menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai abad ke- XVIII M. Hal ini dapat dilihat pada kualitas ilmiah yang dimiliki oleh para ahli begitu pula dari sudut kuantitas ilmiah yang dimiliki terasa kurang kuat. Pada saat itu pendidikan aqliah tidak lagi menjadi perhatian. Di abad pertengahan pendidikan umat Islam mulai menurun dan terus menurun dan di sisi lain pendidikan sufistik lebih berkembang dengan pesat. Ini seiring dengan kondisi umat Islam yang telah hancur secara politik, ajaran Islam yang berkembang cenderung fatalis sehingga lebih cenderung membuat umat Islam menjadi frustrasi.

Pendidikan intetektual di abad pertengahan ini telah diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat sehingga di Timur hanya tinggal pola pemikiran sufistik padahal di masa jaya umat Islam kedua pola ini saling dan selalu berpadu dan saling melengkapi. Sehingga masa selanjutnya Pendidikan yang dikembangkan umat Islam tidak  lagi menghasilkan perkembangan  budaya  Islam  yang  bersifat  material.  Pada  aspek  inilah  dikatakan pendidikan dan kebudayaan Islam menurun. Setelah perpindahan pusat pendidikan, pendidikan intelektual (filsafat dan ilmu pengetahuan) dari dunia Islam ke Barat, beransur- ansur telah membangkitkan Barat dan menimbulkan kelemahan Umat Islam. Hingga umat Islam sendiri dapat dikuasai dan diekspoloitasi kekayaannya.

​

Referensi:

M. M. Syarif, Muslim Thought (trans. M. Fachruddin), (Bandung: Diponegoro), h. 161-164

Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 109

Fazlurrahman, Islam, (Chichago and London: University of chichago Press, Second edition, 2001), h. 185-186

Harun Nasution Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I, (Jakarta: UI Pers, 1985), h. 56-89.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1979), h. 161-164

JWM. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta: Kanisius 1998), h. 85

Unggah tugas
mau terima berita akhir zaman setiap hari di email kamu? GRATIS!^^

Thanks for submitting!

bottom of page