Siaga Perang Nuklir
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI UMMAYAH
A. Pemerintahan Dinasti Umayyah
Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitab tarikhnya bahwa “sejarah Muawiyyah harus disatukan dengan sejarah Khulafaur-Rasyidin, sebab Negara tersebut menempati kedudukan setelah negara Khulafaur-Rasyidin, baik dalam keutamaan, keadilan, maupun persahabatan.
Namun Dengan demikian system pendidikan yang diterapkan Bani Umayyah, tidak terlepas dengan bagaiman proses terbentuknya disati Umayyah sampai pada masa jatuhnya di Damskus sampai tumbuh Dinasti Umayyah pada babak ke-II di Andalusia. Adapun masa pemerintahan dinasti Umayyah di klasifikasikan sebagai berikut:
Implementasi dari terjadinya perang shiffin, berimplikasi terhadap pergulatan politik di dunia Islam, dan terjadinya perang shiffin tersebut diawali dari terjadinya polemik antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah. Padahal jika ditinjau dari garis keturunan keduanya masih satu garis keturunan. Dalam peristiwa inilah Ali Bin Abi Thalib mengalami kekalahan secara politik dari pihak Muawiyah dengan perantara jalan arbitrase (tahkim), sehinga kekalahan Ali secara politis ini mampu dimanfaatkan oleh Muawiyah yang mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus Raja
Selain kesepakatan arbitrase menimbulkan dianggap merugikanbagi pihak Ali r.a itu sendiri, juga menimbulkan problem perpecahan dikalangan umat Islam itu sendiri yang diawali oleh keluarnya sejumlah besar pendukung dan simpatisan Ali r.a dalam menentang terhadap keputusan Ali, (Golongan khawarij).34 Bahkan Golongan Khawarij tersebut yang diceritakan bahwa mereka bersumpah di depan Ka’bah bahwa mereka akan membersihkan komunitas Islam dari tiga tokoh yang terlibat dalam arbitrase tersebut, yaitu; (1) Ali bin abi thalib , (2) Muawiyah bin abu sofyan, dan (3) Amr Bin Ash. Untuk melancarkan misi tersebut pihak Khawarij mengirimkan tiga orang yaitu; (1) Abdullah Bin Muljam yang berangkat ke Kuffah untuk membunuh Ali bin abi thalib, (2) al-Baraq Ibn Abdillah At- Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah, dan (3) Amr ibn Bakr At-Taimi berangkat ke Mesir untuk membunuh Amr bin Al-Ash. Ketiga orang tersebut-lah diduga sebagai penyebab perpecahan dikalangan umat Islam. Akhirnya pada Tanggal 24 Januari 661 M, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju mesjid Kuffah, Ia terkena hantaman pedang beracun didahinya yang diayunkan oleh Abd al-Rahman ibn Muljam. Dan sejak itulah kekuasaan seluruhnya beralih ketangan Muawiyah. Sesudah wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib, berarti habislah masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Kemudian golongan Syiah,yang terdiri dari masyarakat Arab, Irak dan Iran mencoba mengangkat Hasan ibn Ali untuk menggantikan kedudukan ayahnya sehinga terjadilah pembaiatan oleh Qois ibn Saad dan diikuti oleh masyarakat Irak yang berkhianat membuat kekacauan sampai masuk ke rumah Hasan serta melanggar kehormatan bahkan berani merampas harta bendanya. Ditambah lagi dengan persoalan yang urgen bahwa pihak Muawiyah tidak setuju dengan pembaiatan tersebut maka Muawiyah mengirim tentara untuk menyerang kota Irak. Dengan merambaknya persoalan- persoalan dan peperang yang lebih besar lagi di kalangan umat Islam, maka Hasan ibn Ali mengajukan syaratsyarat kepada Muawiyah di antaranya adalah:
a. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak;
b. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun;
c. Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham;
d. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak;
e. Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada bani Abdul Syam;
f. Jabatan khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyarwah di antara kaum muslimin.41
Syarat-syarat tersebut segera dipenuhi Muawiyah dengan cara mengirimkan selembaran kertas yang ditandatangani terlebih dahulu. Supaya Hasan menuliskan syarat- syarat yang dikehendaki-nya. Kemudian mengumumkan bahwa Hasan akan taat dan patuh kepada Muawiyah dan akan mengundurkan diri, dan menyerahkan jabatan kepada pihak Muawiyah. Lebih lanjut dalam pengambilalihan jabatannya tersebut dibuktikan dengan di baiat oleh Muawiyah sebagai khalifah yang disaksikan oleh Hasan dan Husen, Dengan demikian, secara resmi penerimaan Muawiyah ibn Abi Sofyan sebagai khalifah setelah Hasan ibn Ali mendapat dukungan dari kaum Syi’ah dan telah dipegangnya beberapa bulan lamanya sehingga peristiwa kesepakatan antara Hasan ibn Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sofyan lebih dikenal dengan peristiwa “Am al Jamaah” dan sekaligus menjadikan batas pemisah antara masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) dengan masa Dinasti Umayyah (661-750 M).
Sesudah itu Muawiyah masuk ke kota Kufah pada bulan Rabiul akhir tahun 41 H, sedangkan Hasan dan Husen pergi dan tinggal di Madinah sampai wafatnya pada tahun 50 H. Namun dalam versi yang lain menyatakan bahwa al-Hasan wafatnya, akibat kemungkinan diracun oleh harem-haremnya (selir-selirnya). Kemudian Husain (adik laki- laki Hasan) yang hidup di Madinah yang konsisten tidak mau mengakui kekuasaan dipegang oleh Muawiyah sekaligus penggantinya yaitu Yazid. Suatu saat pada tahun 680 Ia pergi ke Kuffah untuk memenuhi seruan penduduk Irak, yang telah menobatkan sebagai Khalifah yang sah setelah Ali dan Hasan. Sehingga Akhirnya pada tanggal 10 Muharam 61 H. Yang tidak berselang lama Umar anak Ibn Abi Waqas (komando pasukan Muawiyah) dengan membawa 4000 pasukan, mengepung pasukan Husain yang berjumlah 200 orang dan membantai rombongan tersebut di daerah Karbala karena mereka tidak mau menyerah.
Dengan demikian peristiwa tersebut bagi kaum Syiah sebagai hari-hari kepedihan dan penyesalan. Perayaan kepedihan tersebut diadakan setahun sekali yang diselenggarakan dalam dua babak, yang pertama disebut asyuara (Hari kesepuluh) di Kazimain (dekat Bagdad) untuk mengenang pertempuran itu, dan empat puluh hari berikutnya di Karbala yang disebut “pengambilan kepala”. Walaupun dengan menggunakan berbagai cara dan strategi yang kurang baik yaitu dengan cara kekerasan, diplomasi dan tipu daya serta tidak dengan pemilihan yang demokrasi Muawiyah tetap dianggap sebagai pendiri Dinasti Umayyah yang telah banyak melakukan kebijakan-kebijakan yang baru dalam bidang politik, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya Menurut Maidir dan Firdaus, selama memerintah Muawiyah tidak mendapatkan kritikan oleh pemuka dan tokoh umat Islam, kecuali setelah ia mengangkat anaknya Yazid menjadi putra mahkota. Sebelum adanya peristiwa tersebut kondisi secara umum tetap stabil dan terkendali sehingga Muawiyah dapat melakukan beberapa usaha untuk memajukan pemerintahan dan perkembangan Islam.45 Sehingga Muawiyah yang menjadi khalifah pertama yang berkuasa dalam pemerintahan dinasti Umayyah merubah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Hal ini tercermin ketika suksesi kepemimpinan Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya. Muawiyah bermaksud menerapkan monarki yang ada di Persia dan Bizantium, walaupun dia tetap menggunakan istilah khalifah namun pelaksanaannya banyak interpretasi baru dalam jabatan tersebut.
​
Pemerintahan dinasti Umayyah berasal dari nama Umaiyah ibn Abu Syam ibn Abdi Manaf, pemerintahan ini berkuasa selama selama kurang lebih 91 tahun (41-132 H atau 661-750 M) dengan 14 orang khalifah mereka adalah:
a. Muawiyah (41-60 H / 661-679 M)
b. Yazid I / (60-64 H / 680-683 M)
c. Muawiyah II (64H / 683 M)
d. Marwan (64-65 H / 683-684 M)
e. Abdul Malik (65-86 H / 684-705 M)
f. Al Walid (86-98 H / 705-714 M)48
g. Sulaiman (96-99 H / 615-717 M)
h. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H / 717-719 M)
i. Yazid II (101-105 H / 719-723 M)
j. Hisyam (105-125 H /723-742 M)
k. Al Walid II (125-126 H / 742-743 M)
l. Yazid III (126 H / 743 M)
m. Ibrahim (126-127 H / 743-744 M)
n. Marwan II (127-132 H / 744-749 M).
​
Dari sekian banyak khalifah yang berkuasa pada masa dinasti Umayyah hanya beberapa khalifah saja yang dapat dikatakan khalifah besar yaitu Muawiyah ibn Abi Soyan, Abd al Malik ibn Marwan, Al Walid ibn Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hasyim ibn abd al Malik. Pada awalnya pemerintahan Dinasti Umayyah bersifat demokrasi lalu berubah menjadi feodal dan kerajaan. Pusat pemerintahannya bertempat di kota Damaskus, hal itu hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memerintah karena Muawiyah sudah begitu lama memegang kekuasaan di wilayah tersebut serta ekspansi territorial sudah begitu luas.
​
B. Kemajuan yang Dicapai
Secara umum kemajuan dan perubahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah sudah disinggung pada pembahasan di atas. Namun untuk lebih jelasnya maka penulis akan menguraikan hal-hal yang telah dilakukan oleh seluruh khalifah yang berkuasa pada waktu itu, di antaranya adalah:
1. Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan agama (Spiritual power) dengan kekuasaan politik (temporal power). Muawiyah bukanlah seorang yang ahli dalam soal-soal keagamaan, maka masalah keagamaan diserahkan kepada para ulama.
2. Pembagian wilayah
Pada masa khalifah Umar ibn Khattab terdapat 8 propinsi, maka pada masa Dinasti Umayyah menjadi 10 propinsi dan tiap-tiap propinsi dikepalai oleh seorang gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada Khalifah. Gubernur berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan ‘amil.
3. Bidang administrai pemerintahan
Dinasti Umayyah membenyuk beberapa diwan (Departemen) yaitu:
a. Diwan al Rasail, semacam sekretaris jendral yang berfungsi untuk mengurus surat- surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat dari mereka;
b. Diwan al Kharraj, yang berfungsi untuk mengurus masalah pajak.
c. Diwan al Barid, yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat;
d. Diwan al Khatam, yang berfungsi untuk mencatat atau menyalin peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah;
e. Diwan Musghilat, yang berfungsi untuk menangani berbagai kepentingan umum.
4. Organisasi Keuangan
Percetakan uang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan, Walaupun pengelolaan asset dari pajak tetap di Baitul Mal.
5. Organisasi Ketentaraan
Pada masa ini keluar kebijakan yang agak memaksa untuk menjadi tentara yaitu dengan adanya undang-undang wajib militer yang dinamakan ‘Nidhomul Tajnidil Ijbary”
6. Organisasi Kehakiman
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas yaitu:
a. Seorang qadhi atau hakim memutuskan perkara dangan ijtihad;
b. Kehakiman belum terpengaruh dengan politik.
7. Bidang Sosial Budaya
Pada masa ini orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab, bahkan mereka memberi gelar dengan “Al Hamra”.
8. Bidang Seni Dan Sastra
Ketika Walid ibn Abdul Malik berkuasa terjadi penyeragaman bahasa, yaitu semua administrasi negara harus memakai bahasa Arab.
9. Bidang Seni Rupa
Seni ukir dan pahat yang sangat berkembang pada masa itu dan kaligerafi sebagai motifnya.
10. Bidang Arsitektur
Telah dibangunnya Kubah al Sakhrah di Baitul Maqdia yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik ibn Marwan.51 Mencermati sekilas tentang kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Umayyah mengandung pesan yang dapat kita tangkap disini bahwa ketika pemerintah mempunyai kemauan yang keras untuk membangun negaranya maka
rakyat yang dipimpinya akan mendukung semua program pemerintah tersebut.
C. Sistem Pendidikan yang Diterapkan pada Dinasti Umayyah
Secara essensial pendidikan Islam pada masa dinasti umayyah kurang begitu diperhatikan, sehingga sistem pendidikan berjalan secara alamiyah.52 walaupun sistemnya masih sama seperti pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini pola pendidikan telah berkembang, sehingga peradaban Islam sudah bersifat internasional yang meliputi tiga Benua, yaitu sebagian Eropa, sebagian Afrika dan sebagian besar Asia yang
kesemuanya itu di persatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Dengan kata lain Periode Dinasti Umayyah ini merupakan masa inkubasi. Dimana dasar-dasar dari kemajuan pendidikan dimunculkan, sehingga intelektual muslim berkembang.
Adapun Corak pendidikan pada Dinasti Umayyah yang dikutif dari Hasan Langgulung yaitu;
1. Bersifat Arab dan Islam tulen
Pada periode ini pendidikan masih didominasi orang-orang arab, karena pada saat itu unsur-unsur Arab yang memberi arah pemerintahan secara politis, agama dan budaya.54
Meskipun hal ini tidak semuanya diterapkan pada semua pemerintahan Dinati Umayyah
hal ini terbukti dengan masa Muawiyah yang membangun pemerintahannya yang mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, dan dalam bidang keilmuan lainnya yang mengadopsin sebagai dari negara-negara taklukan.
2. Menempatkan pendidikan dan penempatan birokrasi lainnya, sebagaimana yang ditempati oleh orang-orang non-muslim dan non-arab.
3. Berusaha Meneguhkan Dasar-Dasar Agama Islam yang Baru Muncul
Hal ini berawal dari pandangan mereka bahawa Islam adalah agama, negara, sekaligus sebagai budaya, maka wajar dalam periode ini banyak melakukan penaklukan wilayah-wilayah dalam rangka menyiarkan dan memperkokoh ajaran Islam. Hal ini terbukti ketika pada masa pemerintahan Umar bin abd Aziz pernah mengutus 10 orang ahli Fikih ke Afrika utara untuk mengajarkan anak-anak disana.
​
4. Perioritas pada Ilmu Naqliyah dan Bahasa.
Pada periode ini pendidikan Islam memprioritaskan pada ilmu-ilmu naqliyah seperti baca tulis al-Quran, pemahaman fiqih dan tasyri, kemudian dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut yaitu ilmu bahasa, seperti nahwu, sastra.
Meskipun pada gilirannya terdapat juga penekanan pada ilmu-ilmu aqliyah, hal ini terbukti dengan munculnya aliran-aliran theologies dan filsafat pada masa ini.
​
5. Menunjukan bahan tertulis pada bahasa tertulis sebagai bahan media komunikasi
Pada masa Umayyah tuga menulis semakin banyak, seperti membagi penulis dalam bidang pemerintahan, seperti, penulis surat-surat, harta-harta, dan pada bidang pemerintahan lainnya termasuk penulis dalam kalangan intelektual, (penerjemah). Hal ini di buktikan dengan membuka jalan Pengajaran Bahasa Asing. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya kawasan Islam di semenanjung Arab, sehubungan degan hal ini nabi Muhammad juga pernah bersabda “barang siapa yang mempelajari bahasa suatu kaum, niscaya ia akan selamat dari kejahatannya”. Keperluan ini semakin dirasakan penting karena pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah kawasan Islam semakin meluas sampai ke Afrika dan Cina serta negeri-negeri lainnya yang berbeda dengan Bahasa Arab. Dengan demikian pengajaran bahasa diperketat, hal ini untuk menunjukan bahwa Islam merupakan agama universal.
Lebih lanjut Pada masa Dinasti Umayyah pola pendidikannya bersifat desentralisasi dan belum memiliki tingkatan dan standar umum. Kajian pendidikan pada masa itu berpusat di Damaskus, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Kardoba dan beberapa kota lainnya, seperti Basyarah, Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-imu yang dikembangkan yaitu, Kedokteran, Filsafat, Astronomi, Ilmu Pasti, Sastra, Seni Bagunanan, Seni rupa, maupun seni suara.
Dengan demikian pendidikan tidak hanya berpusat di Madinah seperi pada zaman nabi dan Khulaur Rasyidin melainkan ilmu itu telah mengalami ekspansi seiring dengan ekspansi teritorial. Lebih lanjut Menurut H. Soekarno dan ahmad Supardi. Memaparkan bahwa Pada periode Dinasti Umayah terdapat dua jenis pendidikan, yaitu;
​
1. Pendidikan khusus yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukan bagi anak- anak khalifah dan anak-anak para pembesarnya, Tempat Proses pembelajaran berada
dalam lingkungan istana, Materi yang diajarkan diarahkan untuk kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan, sehingga dalam penentuan dan penetapan kurikulumnya bukan hanya oleh guru melainkan orang tua pun turun menentukannya. Adapun Materi yang diberikan yaitu materi membaca dan menulis al-Quran, al-Hadits, bahasa arab dan syair-syair yang baik, sejarah bangsa Arab dan peperangannya, adab kesopanan, pelajaran-pelajaran keterampilan, seperti menunggang kuda, belajar kepemimpinan berperang. Pendidik atau guru-gurunya dipilih langsung oleh khalifah dengan mendapat jaminan hidup yang lebih baik. Peserta didik atau Anak-anak khalifah dan anak-anak pembesar.
2. Pendidikan yang di peruntukan bagi rakyat biasa.
Proses pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah diterapkan dan dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Sehingga kelancaran proses pendidikan ini ditanggungjawabi oleh para ulama, merekalah yang memikul tugas mengajar dan memberikan bimbingan serta pimpinan kepada rakyat. Mereka bekerja atas dasar kesadaran moral serta tanggung jawab agama bukan dasar pengangkatan dan penunjukan pemerintah, sehingga mereka tidak memperoleh jaminan hidup (gaji) dari pemerintah. Jaminan hidup mereka tanggungjawabi sendiri dengan pekerjaan lain diluar waktu mengajar, atau ada juga yang
menerima sumbangan dari murid-muridnya.61
Meskipun terdapat dua sistem yang berbeda, penguasa pada dinasti umayyah tidak melupakn akan pentingnya suatu pendidikan, adapun system yang diterapkan secara umumnya sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Membentuk dan mengembang manusia “insan kamil” memilki keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabar), menaati hak dan kewajiban tetangga (jiwar), mampu menjaga harga diri (muru’ah), kedermawanan dan keramahtamahan (penghormatan terhadap perempuan, pemenuhan janji).
​
2. Tempat dan Lembaga-lembaga pendidikan
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Umumnya pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: Di kota Mekkah dan Madinah (Hijaz). Di kota Basrah dan Kufah (Irak). Di kota Damsyik dan Palestina (Syam). Di kota Fistat (Mesir).
Adapun tempat dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Kuttab, yaitu tempat belajar menulis. Pada masa awal Islam sampai pada era Khulafaur Rasyidin dalam pendidikan di Kuttab secara umum tidak dipungut bayaran alias gratis, akan tetapi pada masa dinasti umayyah ada di antara pejabat yang sengaja menggaji guru dan menyediakan tempat untuk proses belajar mengajar. Adapun materi yang diajarkan adalah baca tulis yang pada umumnya diambil dari syair-syair dan pepatah arab.62
b. Pendidikan Masjid, yaitu tempat pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang bersifat keagamaan.63 Pada pendidikan masjid ini terdapat dua tingkatan yaitu menegah dan tinggi. Materi pelajaran yang ada seperti Alquran dan Tafsirnya, Hadis dan Fiqh serta syariat Islam.
c. Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi kesana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.
d. Pendidikan Perpustakaan, pemerintah Dinasti Umayyah mendirikan perpustakaan yang besar di Cordova pada masa khalifah Al Hakam ibn Nasir.65
e. Majlis Sastra/Saloon Kesusasteraan, yaitu suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan.
Majelis ini sudah ada sejak era Khulafaur Rasyidin yang diadakan di masjid. Namun pada masa Dinasti Umayyah pelaksanaannya dipindahkan ke istana dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja.
f. Bamaristan, yaitu rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran. Cucu Muawiyah Khalid ibn Yazid sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga al Walid ibn Abdul Malik memberikan perhatian terhadap Bamaristan.
g. Madrasah Makkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan Tafsir, Fiqh dan Sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
h. Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi Muhmmad. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
i. Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli Fiqih dan ahli Hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu Hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli Fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli Tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
j. Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah bahkan mereka pergi ke Madinah.
k. Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam.
Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’i dan Maliki.
l. Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula di madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama).
Ia ahli Hadis dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal Hadis-hadis yang didengarnya dari Nabi S.A.W., melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf meriwayatkan Hadis-hadis itu kepada murid- muridnya. Oleh karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan Hadis-hadis dari padanya.
​
Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.69
3. Materi/Bahan Ajar
Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa ataupun seni suara. Pada masa Khalifah Rasyidin dan Umayyah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran, hampir sama seperti masa sekarang. Tingkat pertama ialah Kuttab, tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Alquran serta belajar pokok-pokok Agama
Islam.
Setelah tamat Alquran mereka meneruskan pelajaran ke masjid. Pelajaran di masjid itu terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah gurunya belumlah ulama besar, sedangkan pada tingkat tingginya gurunya ulama yang dalam ilmunya dan masyhur ke’aliman dan kesalehannya.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu: (a) Belajar membaca dan menulis, (b) Membaca Alquran dan menghafalnya, (c) Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya. Adapun Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari: (a) Alquran dan tafsirannya.
(b) Hadis dan mengumpulkannya. (c) Fiqh (tasri’).
Pemerintah Dinasti Umayyah menaruh perhatian dalm bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuan, para seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
a. Ilmu agama, seperti: Alquran, Hadis, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadis terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.70 Perkembangan ilmu fiqih ini berkembang pesat ketika masa pemerintahan bani umayyah II di Andalusia, sehingga di antaranya lahir 4 mazhab besar, (1) Imam Maliki (2) Imam Syafi’i (3)Imam Hanafi dan (4) Imam Hambali.
b. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
e. Ilmu kimia, kedokteran dan astrologi, dalam ilmu pengobatan awalnya masih bersumber pada pengobatan tradisional yang diterapkan Nabi, yang di antaranya adalah mengeluarkan darah dengan gelas (bekam).
Kemudian pengobatan ilmiah Arab banyak yang bersumber dari Yunani, sebagian dari Persia. Adapun daftar dokter pertama pada masa Dinasti Umayyah ditempati oleh al-Harits ibn Kaladah (w. 634), yang berasal dari Thaif, yang kemudian menuntut ilmu ke Persia. Harits ibn kalabah itu merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik tentang Kimia, Kedokteran, dan Astrologi.
f. Perkembangan seni rupa, Prestasi lukis yang gemilang dalam bidang ini ditunjukan dengan munculnya “Arabesque” (Dekorasi orang arab), hampir semua motif Islam menggunakan motif tanaman atau garis-garis geometris. Sehingga apa yang kita sebut dengan seni rupa Islam adalah unsur gabungan dari berbagai sumber motif, dan gaya, sedangkan seni rupa, seperti patung merupakan hasil kejeniusan arsitik masyarakat taklukan.yang berkembang dibawah kekuasaan Islam, dan disesuaikan dengan tuntutan Islam. Gambar yang paling awal dari seni lukisan di Qashayr ‘amrah’ yang menampilkan karya pelukis Kristen. Pada dinding-dingding peristirahatan dan pemandian al-Walid I di Transyordania terdapat enam raja, termasuk roderik, raja visigot (gotik barat), spayol yang terakhir (Qayshar) dan Najasi dilukis diatas dua gambar itu. Dan gambar-gambar tersebut merupakan simbol lainnya untuk melukiskan kemenangan, filsafat, sejarah dan puisi.
g. Perkembangan musik terjadi pada masa khalifah yang kedua yaitu Yazid, dimana menurut Philip K. Hitti Yazid dikenal sebagai seorang penulis lagu yang memperkenalkan nyanyian dan alat musik ke istana Damaskus. Ia memulai praktek penyelenggaraan pestival-pestival besar di istana dalam rangka memeriahkan pesta kerajaan. Kemudian Yazid II penerus umar mengembangkan musik dan puisi ke halayak umum melalui hababah dan Salamah. Hisyam (724-743), Walid (705-715) bahkan mengundang penyanyi dan musisi ke istana, sedemikian menjamurnya seni musik pada akhir pemerintahan Umayyah sehingga fenomena itu dimanfaatkan oleh kelompok Bani Abbasyiah dengan lontaran propaganda “pembajak kekuasaan yang cacat moral”.
h. Dalam persoalan musik ini menimbulkan polemik dikalangan masyarakat sehingga sebagian ada yang mencela dan ada juga yang mendukung dengan cara mengutip sebagi perkataan yang dinisbatkan kepada nabi. Yang beragumen bahwa “puisi, musik, dan lagu tidak selamanya merendahkan martabat; bahwa mereka memberikan konstribusi terhadap perbaikan hubungan sosial, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Generasi pertama dalam dalam musik dipelopori oleh Thuways (632-710) dari madinah, kemudian memilki banyak murid diantaranya Ibn Surayj (634-726).
4. Metode Pendidikan
Metode yang digunakan yaitu metode rihlah, hal ini dibuktikan ketika zaman khalifah Umar bin Abd Aziz (99-101 H/717-720 M) dan beliau pernah mengirim surat kepada ulama-ulama lainnya untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis. Perintah Umar tersebut telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yaitu para ulama mencari hadits kepada orang-orang yang dianggap mengetahuinya diberbagai tempat.
Kemudian dalam hukum Fiqih pada masa ini dibedakan menjadi dua kelompok (1) Aliran ahl al-Ra’y yang mengembangkan hukum Islam dengan analogi, dan (2) Aliran ahl-al Hadits dimana aliran ini tidak akan memberikan fatwa kalu tidak dalam al-Quran dan al- Hadits. Dan Metode Dialektik, pada masa Dinasti Umayyah menimbulkan berkembangnya aliran teologi.
5. Pendidik dan Peserta Didik
Setelah masa Abd Malik, seorang guru (Muadzib) biasanya seorang mantan yang beragama Kristen dijadikan sebagai guru para putra khalifah, pelajaran moral merupakan pelajaran yang paling pertama yang ditanamkan kepada peserta didik”. Guru yang paling pertama adalah para pembaca al-Quran (qurra). Lebih lanjut pada masa pemerintahan Umar II mengutus Yazid abi Habib ke Mesir untuk mengajarkan para peserta didik disana, pada waktu itu Yazid menjabat sebagai hakim agung. Kemudian di Kuffah kita kednal dengan al-Dahak ibn Muzahim (w.723) yang mendirikan sekolah dasar (Kuttab) dan tidak memungut biaya pada para siswa.
Sedangkan Peserta didik yaitu anak-anak para khalifah dan pembesarnya, ditambah dengan masyarakat umum. Pada tanggal 17 H, 638 M. Khalifah Umar mengintruksikan agar masyarakat belajar di mesjid setiap hari Jumat. Kemudian Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam pada waktu itu, yakni di bukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana dipahami dari konstitusi sejarah Bani Umayyah yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang orang yang berbuat dosa besar, wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berpikir secara mandiri.
6. Perkembangan Alam Pemikiran
Dalam masa Dinasti Umayyah, merupakan cikal bakal gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan pondasi agama Islam, timbulnya gagasan dan pemikiran filosofis di Arab tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi Kristen dan filsafat Yunani, salah satu agen utama dalam memperkenalkan Islam dalam tradisi Kristen adalah St. John80 (Santo Yahya) dari Damaskus (Joannes Damascenus) yang dijuluki Crrysorrhoas (lidah emas).
Pada paruh pertama abad ke-8 di Basyrah hidup seorang tokoh yang terkenal yang bernama Washil Ibn Atha (w.748) seorang pendiri mazhab Rasionalisme (Muktazilah), doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok Qadariyah, dan kelompok Qadariyah ini dibesarkan pengaruh khalifah Umayyah, Muawiyah II dan Yazid III, yang merupakan pengikut Qadariyah. Kemudian gerakan paham rasionalisme ini mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasyiah terutama pada masa al-Ma’mun (813-833 M), seperti yang akan dibahas nanti pada masa Abbasyiah.
Kemudian sekte lain yang muncul pada dinasti Umayyah yaitu Murjiah, menurut mereka kenyataan Dinasti Umayyah adalah orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka menjadi pimpinan umat. Lebih lanjut sekte lain yang merupakan sekte politik yaitu kaum Khawarij dan Syiah.
D. Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah mengalami kemajuan yang pesat hanya pada dasawarsa pertama kekuasaannya, sedangkan pada tahun berikutnya sudah mengalami kemunduran. Kemajuan yang terjadi pasa masa pemerintahan Muawiyah sampai kepada Hisyam. Adapun beberapa faktor penyebab kemunduran dinasti umayyah adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan. Pengaturannya tidak jelas sehingga menyebabkan persaingan yang tidak sehat di lingkungan keluarga kerajaan;
2. Adanya gerakan oposisi dari pendukung Ali dan Khawarij baik yang dilakukan secara terbuka maupun secara tertutup. Hal ini banyak menyedot perhatian pemerintah ketika itu;
3. Timbulnya permasalahan sosial yang menyebabkan orang non Arab dan suku Arabia Utara sehingga Dinasti Umayyah kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan;
4. Sikap hidup mewah di kalangan keluarga istana dan perhatian terhadap masalah keagamaan sudah berkurang;
5. Adanya kekuatan baru yang digalang oleh keturunan al Abbas ibn Abd al Muthalib sehingga menyebabkan keruntuhan kekuasaan Dinasti Umayyah.82 Gerakan ini didukung penuh Bani Hasyim dan golongan Syiah serta kaum Mawali yang di nomor duakan ketika pemerintahan Bani Umayyah.
Dengan demikian dapat menjadi pengalaman bagi setiap pemerintahan yang tidak baik lambat atau cepat tetap akan runtuh. Sebuah sistem yang telah dibangun dengan tidak baik akan menghasilkan produk yang tidak baik juga.
​
Referensi:
Yusuf al-Qardawi, Distorsi Sejarah Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 98
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran dan Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 54
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak akar-akar Sejarah,Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, , 2004), Cet-1, h. 34
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1988), Cet. ke-V, h.33
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), cet-1, h. 81
Ahmad al Usairy, Sejarah Islam Sejak zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2003), h.184-185.
Firdaus Maidir Harun, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), h. 81
Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 258
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husana, 1988), h. 55.
H. Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa 1993), cet. Ke-2, h. 73
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 104
Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusurti Jejak Era Rasullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet-1, h. 62
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke-7, h. 96
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 33
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 41-42
Al-Ghajali, Dalam ihya ulumuddin (kairo, 1334), jilid. II, mh. 238, yang dikutip oleh Philip K. Hitti, Op.Cit, h. 345
Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h.259
al-Mas’udi, jilid VI, h. 22, jilid VII, h. 234. Bandingkan dengan Syahrastani, h. 33; al-Bagdadi Ushul al-din (Istanbul,1928), jilid 1, h. 335, Philip K. Hitti, h. 306
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet-13, h. 48-49
Samul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h.137