top of page
ABBASIYAH.jpg

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH

Masa keemasan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat sampai dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran.

Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan. Hal itu dapat ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama’, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan yang dibuka, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.

Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (768-809 M)85  dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang berlangsung  tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam bagian timur. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi. Al-Ma’mun pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dalam bidang pendidikan di awal kebangkitan Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:

1. Maktab/ kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.

2. Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa,  pendidikan  biasanya  berlangsung  di  istana  atau  di  rumah  penguasa tersebut dengan mendatangkan ulama ahli.

Lembaga-lembaga  ini  kemudian  berkembang  pada  masa  pemerintahan  Bani Abbas dengan berdirinya perpustakaan dan akademik.

Kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut dikarenakan oleh:

 

1. Keterbukaan  budaya  umat  Islam  untuk   menerima  unsur-unsur  budaya  dan peradaban dari luar, sebagai konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.

2. Adanya penghargaan, apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan.

3. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.

4. Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang  banyak  diterjemahkan  adalah  Dalam  bidang  filsafat  dan  kedokteran.  Fase  ketiga, setelah tahun 300 H terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang- bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Perhatian masyarakat sangat tinggi di bidang sastra dan sejarah, dalam periode awal Abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa Persia. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan memfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusif. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau disponsori oleh khalifah. Hasil membaca mereka kemudian didiskusikan dan dikembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi. Dari sinilah memunculkan ide/ keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi. Tradisi penelitian  juga  kita  lihat  dari  temuan-temuan (eksperimen) ilmu  dalam  bidang  sains, matematika, kedokteran, astronomi, dan lain-lain.

 

A. Kemajuan Bidang Pengetahuan dan Teknologi

 

Pada masa pemerintahan daulah Abbasiyah mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan para khalifah memfokuskan pada pengembangan pengetahuan dan teknologi. Mereka menterjemahkan berbagai karya-karya baik  dari  bahasa  Yunani,  Persia,  dan  lain-lain.  Kemajuan  bidang  pengetahuan  dan teknologi yang telah dicapai meliputi:

a. Geometri, perhatian cendekiawan muslim terhadap geometri dibuktikan oleh karya-

karya matematika. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi telah menciptakan ilmu Aljabar.  Kata  al-Jabar  berasal  dari  judul  bukunya,  al-Jabr  wa  al-Muqoibah.  Ahli geometri Muslim lain abad itu ialah Kamaluddin ibn Yunus, Abdul Malik asy-Syirazi yang telah menulis sebuah risalah tentang Conics karya Apollonius dan Muhammad ibnul Husain menulis sebuah risalah tentang “Kompas yang sempurna dengan memakai semua bentuk kerucut yang dapat digambar”. Juga al-Hasan al-Marrakusy telah menulis tentang geometri dan gromonics.

b. Trigonometri, pengantar kepada risalah astronomi dari Jabir ibnu Aflah dari Seville,

ditulis oleh Islah al-Majisti pada pertengahan abad, berisi tentang teori-teori trigonometrikal. Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani yang dikenal di Eropa dengan   nama   al-Faragnus   menulis   ringkasan   ilmu   astronomi   yang   telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.

c. Musik,  banyak  risalah  musikal  telah  ditulis  oleh  tokoh  dari  sekolah  Maragha, Nasiruddin Tusi dan Qutubuddin asy-Syirazi, tetapi lebih banyak teoritikus besar pada waktu itu adalah orang-orang Persia lainnya. Safiuddin adalah salah seorang penemu skala paling sistematis yang disebut paling sempurna dari  yang  pernah ditemukan.88

d. Geografi, al-Mas’udi ahli dalam ilmu geografi diantara karyanya adalah Muuruj al-

Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir.

e. Antidote  (penawar  racun),  ibnu  Sarabi  menulis  sebuah  risalah  elemen  kimia penangkal racun dalam versi Hebrew dan Latin. Penerjemahan dalam bahasa Latin (mungkin suatu adaptasi atau pembesaran) terbukti menjadi lebih populer dan lebih berpengaruh daripada karya aslinya dalam bahasa Arab. Di bidang kimia terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan sesuatu zat tertentu.

f.  Ilmu kedokteran dikenal nama al-Razi dan ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang  menyusun  buku  mengenai  kedokteran  anak.  Sesudahnya  ilmu  kedokteran berada di tangan ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosuf berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah. Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa dikenal dengan nama al-Hazen. Dia terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda  yang  dilihat.  Menurut  teorinya  yang  kemudian  terbukti  kebenarannya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata.

g. Filsafat, tokoh yang terkenal adalah al-Farabi, ibn Sina dan ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah  al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di  Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

B. Tokoh-tokoh/para ilmuwan zaman Abbasiyah

 

Para ilmuwan yang lahir  dari  peradaban Abbasiyah adalah para ilmuwan yang sangat dikenal di berbagai pelosok dunia. Buku-buku karya mereka juga menjadi acuan utama bagi para ilmuwan lainnya, baik di Barat maupun di Timur.89

a. Bidang Astronomi: Al-Fazari, Al- Fargani (Al-Faragnus), Jabir Batany, Musa bin Syakir, dan Abu Ja’far Muhammad.

b. Bidang Kedokteran: Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Masiwaihi, Ibnu Sahal, Ali bin Abbas, Al-Razi, Ibn Rusyd, dan Al-Zahawi.

c. Bidang Optika: Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythani (al-Hazen). d. Bidang Kimia: Jabir ibn Hayyan dan Ibn Baitar.

e. Bidang Matematika: Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, Tsabit ibn Qurrah al- Hirany, dan Musa bin Syakir.

f.  Bidang Sejarah: Al-Mas’udi dan Ibn Sa’ad.

g. Bidang Filsafat: Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Musa bin Syakir.

h. Bidang Tafsir: Ibn Jarir ath Tabary, Ibn Athiyah al-Andalusy, Abu Bakar Asam, dan Ibn Jaru al-Asady.

i.  Bidang  Hadis:  Imam  Bukhori  (karyanya  adalah  kitab  al-Jami’  al-Shahih  yang merupakan kumpulan hadis),90 Imam Muslim, Ibn Majah, Baihaqi, dan At-Tirmizi.

j.  Bidang Kalam: Al-Asy’ari, Imam Ghozali, dan Washil bin Atha.

k. Bidang Geografi: Syarif Idrisy dan Al-Mas’udi.

l.  Bidang  Tasawuf:  Shabuddin  Sahrawardi,  Al-Qusyairi,  dan   Al-Ghozali  (karya terpentingnya adalah Ihya ‘Ulum al-Din.91

m. Munculnya empat madzhab: Al-Syafi’i (peletak dasar ilmu ushul fiqih dan pencetus teori ijma’ (konsensus) yang menjadi salah satu sumber syari’ah),92  Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi.

C. Prosa pada masa bani Abbasiyah

 

Nama  Bani  Abbasiyah diambil  dari  nama  Abbas  bin  Abdul  Muthalib, paman Rasulullah. Pada awalnya, keturunan Abbas tidak menghendaki jabatan Khalifah, bahkan mereka selalu membantu keturunan Ali bin Abi Thalib dalam setiap upaya mengambil kekuasaan dari tangan bani Ummayah. Akan tetapi, sejak pertengahan abad kedua, mereka berusaha  turut  merebut  kekuasaan  dari  tangan  bani  Ummayah.  Pada  zaman  Bani Abbasiyah, surat menyurat menjadi semakin penting dalam rangka penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin kompleks. Dalam genre prosa, muncul prosa pembaruan (رثنلا يديدجتلا)  yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain Al-Jahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam (ةليل و ةليل  فلأ). Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah.

Masa Bani Abbasiyah sering disebut-sebut sebagai Masa Keemasan Sastra Arab. Karena Islam juga eksis di Andalusia (Spanyol), maka tidak ayal lagi kesusastraan Arab juga berkembang disana.  Pada  zaman  Harun  Al-Rasyid, berdiri  Biro  Penerjemahan Darul Hikmah. Namun hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa ini banyak terjadi kekeliruan berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat bangsa Arab dengan bangsa ajam (non Arab).

Gaya pertengahan tidak ketinggalan zaman secara tiba-tiba. Sejumlah penulis besar tetap mengikuti gaya pertengahan ini meskipun gaya saj’ baru sudah mendapat dasar di sekitar mereka. Saj’ terdiri dari prosa yang frase-frasenya berirama dalam kelompok dari dua atau lebih bagian. Syarat-syaratnya antara lain adalah kata-katnya harus indah dan merdu, tiap frase beriramanya mengandung makna yang berbeda, frase beriramanya memenuhi persyaratan tawazun, frase sesudahnya harus selalu lebih pendek dari pada frase sebelumnya. Badi’ di lain pihak, yang mengandung saj’ dan lain-lain, dapat menjadi banyak bentuk. Sebagaian ahli sastra menyebutkan 14 ragam badi’dan sebagian lagi menyebutkan dua kali lipat dari itu atau lebih. Badi’ terdiri dari penciptaan frase yang identik dalam struktur suku kata, terkadang dalam bentuk huruf tanpa tanda dikritikalnya, tetapi berbeda dalam makna. Contoh terbaik saj’ dan badi’ hádala seperti berikut:

a. Korespondensi kekhalifahan

Korespondensi kekhalifahan dipercayakan kepada dewan atu sekertaeis istana. Penulis terkenal anatara lain: Abu Al Fado Muhammad bin Al Amid (w 360 H/ 970 M), Abu Ishaq Al Shabi (w 384 H/ 994 M), Al Qadli Al Fadhil (596 H/ 1200 M).

 

b. Esai sastra

Esay   sastra   disusun   disusun   penulisnya   untuk   melukiskan   perbincangan, melaporkan pidato, menuturkan kisah, atau menguraikan tema keislaman, moral, atau kemanusiaan. Yang termashur antara lain Risalah Al Ghufron (pengampunan) yang ditulis oleh Abu Al A’la Al Ma’arri (w 449H/ 1059M), yang melukiskan statu perbincangan imajiner dengan penghuni surga dan penghuni neraka. Rízala ini memprakarsai gaya tulisan yang segera tersebar sampai ke Eropa di mana Dante melahirkan Divina Comedia-nya yang meniru risalah ini.

c. Maqamat

Badi al-Zaman al-Hamadzani dikenal sebagai pencipta maqamah, sejenis anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan bahasanya. Sebagai contoh, kisah-kisah bebahasa Spanyol dan Italia yang bernuansa realis atau kepahlawanan memperlihatkan kedekatan yang jelas dengan mahqamah Arab. Tidak lama sebelum pertengahan abad ke-

10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Ini adalah karya Persia klasik, berisi beberapa kisah dari India. Karakteristiknya yang beragam telah mengilhami lahirnya ungkapan konyol para kritikus sastra modern yang memandang kisah “Seribu Satu Malam” sebagai kisah-kisah Persia yang dituturkan dengan cara Buddha oleh ratu Esther kepada Haroun Alraschid di Kairo selama abad ke-14 Masehi. Kisah ini menjadi begitu populer di kalangan masyarakat Barat, karena telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di belahan bumi Eropa serta pencetakan  berulang-ulang.  Selain  prosa-prosa  tersebut,  juga  terdapat  beberapa  puisi klasik, contohnya Abu Nawas yang mampu menyusun lagu terbaik tentang cinta dan arak. Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut. Apalagi sejak ditayangkan secara visual di layar kaca ataupun layar perak produksi Holywood. Semuanya pasti setuju bahwa kisah itu diambil dari Kisah Seribu Satu Malam. Kisah yang amat terkenal dari abad-abad lampau hingga saat ini. Tapi tahukah Anda bahwa kisah itu adalah cuma terjemahan saja dan bukan buatan sastrawan-sastrawan ternama pada puncak kejayaan Baghdad?

Saat itu Kekhalifahan Abbasiyah berada pada puncak tangga tamadun. Politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan di segala bidang lainnya mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian—ini  dikarenakan  pula  Bani  Umayyah  adalah  bani  yang  sangat  resisten terhadap  pengaruh  selain  Arab,  maka  pada  zaman  Bani  Abbasiyah  inilah  prosa berkembang subur.  Mulai  dari  novel,  buku-buku sastra,  riwayat, hikayat, dan  drama. Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai penyair (seperti Abu Nuwas), pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga pemain drama.

Sejarah Hidup Ibnu Al-Muqoffa’ dan karya-karyanya Ibnu al-Muqoffa’ hidup dan tumbuh pada saat terjadi pergolakan dan konfilk di masyarakat. Saat itu terjadi peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayah ke tangan Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan terjadi banyak konflik. Maka pada saat itu keadaan politik di dunia Islam carut-marut dengan kondisi tersebut. Kehidupan umat Islam dan masyarakat Arab terus mengalami pergolakan yang  berkepanjangan  sehingga  akhirnya  Dinasti  Abbasiyah  dapat  meraih  tampuk kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Ibnu al-Muqoffa’ dilahirkan di sebuah kampung dekat Shiraz, Persia, sekitar tahun 80 H. Ia dilahirkan dari dua darah kebudayaan. Ayahnya, Dzazuwih berdarah Persia dan ibunya berasal dari keturunan bangsa Arab. Maka dari sinilah ia banyak mewarisi dua kultur tersebut. Sehingga ia bertekad untuk menjembatani dari dua peradaban tersebut, yakni peradaban Persia dan Arab.

Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan  sastra  di  Eropa  era  Renaisans.  Salah  seorang  ahli  sastrawan  yang melahirkan prosa-prosa jenius pada masa itu bernama Abu Uthman Umar bin Bahr al- Jahiz (776 M – 869 M) – cucu seorang budak berkulit hitam. Berkat prosa-prosanya yang gemilang, sastrawan yang mendapatkan pendidikan yang memadai di Basra. Irak itu pun menjadi intelektual terkemuka di zamannya. Karya terkemuka Al-Jahiz adalah Kitab al- Hayawan, atau ‘Buku tentang Binatang’ sebuah antologi anekdot-anekdot binatang – yang menyajikan kisah fiksi dan non-fiksi. Selain itu, karya lainnya yang sangat populer adalah Kitab al-Bukhala, ‘Book of Misers’, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan tentang psikologi manusia.

Pada  pertengahan abad  ke-10  M,  sebuah  genre  sastra  di  dunia  Arab  kembali muncul. Genre sastra baru itu bernama maqamat, Sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al-Zaman al-Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, hanya masih tersisa dan bertahan 42 maqamat.

Referensi:

Yusuf Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 123

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 52.

M. Masyhur Amin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM, 1995), h. 55.

Mehdi Nakasteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h.245

Bahruddin Fanani, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), h.90

Unggah tugas
mau terima berita akhir zaman setiap hari di email kamu? GRATIS!^^

Thanks for submitting!

bottom of page